Jumat, 16 Oktober 2015

Pada 16 Oktober 1952 di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) di Jakarta, berlangsung rapat yang dihadiri Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, KSAP, Mayjen TB Simatupang, KSAD Kolonel AH Nasution dan para Panglima teritorial se-Indonesia. Rapat membahas rencana pembangunan Angkatan Darat.

Rencana ini mendapat kecaman baik dari kalangan Parlemen maupun kalangan perwira AD sendiri. Suara dan mosi-mosi miring terhadap AD menjadi pokok pembahasan dalam rapat ini. Bebasa Daeng Lalo dari Partai Rakyat Nasional (PRN), pada 8 Oktober 1952, menuduh Menteri Pertahanan tidak nasionalis, karena program pembangunan AD mendapat bantuan Belanda, dengan mendatangkan tenaga-tenaga Belanda untuk mendidik perwira-perwira TNI.

Sebelumnya, pada 23 September, suatu mosi diajukan Zainul Baharuddin (didukung Partai Murba, Partai Buruh dan PRN), menuntut reorganisasi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang, menyelidiki penyelewengan administrasi dan keuangan di lingkungan kedua instansi tersebut, menyusun undang-undang pertahanan nasional, pembentukan komisi khusus parlemen. 

Mosi Baharuddin disusul dengan mosi I J Kasimo. Mosi Kasimo dimaksudkan untuk menandingi mosi yang pertama. Kemudian menyusul mosi Manai Sophian dari PNI yang didukung PSII dan Nahdatul Ulama. Mosi Manai Sophian mengusulkan pembentukan Komisi Negara untuk memperbaiki struktur Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang serta mengakhiri bantuan Misi Militer Belanda. Pada 16 Oktober 1952, Parlemen melakukan pemungutan suara: menolak mosi Zainul Baharuddin dan menerima mosi Manai Sophian.

Geen Coup 
Hasil rapat di SUAD merumuskan usul yang akan disampaikan kepada Presiden. Usul, bukan tuntutan ataupun ultimatum. Jendral Simatupang menegaskan jangan ada seorangpun berpikiran melakukan aksi kudeta militer. “Mijne Heeren, geen coup!”, Simatupang mengingatkan.

Pernyataan Pimpinan AD terdiri dari tujuh butir dan di-kelompokkan menjadi dua, (1) keluhan para perwira mengenai keadaan nasional dan keadaan Angkatan Darat, oleh campur tangan politisi; (2) permohonan agar Presiden menggunakan wewenangnya sesuai konstitusi membubarkan Parlemen Sementara (DPRS) dan menggantinya dengan Parlemen hasil Pemilihan Umum.

DPRS dinilai sebagai sumber dari semua ketegangan dan pertentangan politik. Pernyataan itu diserahkan Letkol Sutoko kepada Presiden ketika KSAP, KSAD, para Panglima menghadap Presiden di Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952. Di situ hadir pula Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Wilopo, Sekretaris Kabinet, AK Pringgodigdo dan Pejabat Ketua Parlemen AM Tambunan. Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Sumatra Selatan mengatakan, Angkatan Darat tak mau didikte oleh Parlemen yang dua-pertiga anggotanya pernah bekerja sama dengan Belanda sewaktu Perang Kemerdekaan. Sementara Kolonel Alex Kawilarang, Panglima Sumatra Utara, mengatakan, sulit mengendalikan keadaan di daerahnya bila rongrongan dan provokasi oleh para politisi yang memojokkan TNI tidak dihentikan.

Rencana pembangunan AD untuk menjadikannya profesional dan modern memecah AD dalam dua kelompok. Kelompok pendukung dikenal dengan sebutan “Blok SUAD.” Kelompok yang menolak, dimotori Kolonel Bambang Supeno dan Letkol Zulkifli Lubis, disebut “Blok Supeno-Lubis”. Blok Supeno-Lubis mencurigai rencana itu untuk mengeliminasi para perwira didikan Je-pang, yang belum setara dengan pendidikan militer di zaman Belanda.

Ke-curigaan diperbesar dengan adanya tiga kriteria dalam menentukan seseorang terus dalam dinas tentara, yaitu tingkat pendidikan, kesehatan dan usia. Kalau ini diberlakukan, bagian terbesar perwira eks Heiho, Peta atau Giyugun akan pensiun. Mereka menuduh Blok SUAD mengabaikan nasionalisme dan patriotisme, dan mengubah prajurit pejuang menjadi tentara gajian. Dan Presiden Soekarno condong ke grup penentang modernisasi AD.

Suatu waktu, Letkol Bahrun menemui Simatupang, menyampaikan pesan dari Kolonel Bambang Supeno untuk mengganti KSAD Nasution. Bambang Supeno memberitahukan kepada Bahrun bahwa Presiden sudah setuju, tinggal mengumpulkan tanda tangan para panglima. Ungkapan Bahrun mengejutkan Simatupang. Bahwa Presiden Soekarno sendiri terlibat untuk menghambat program pembangunan AD. Ia melaporkan kepada Menteri Pertahanan dan memberitahukan KSAD. Mereka dan para panglima territorial segera mengadakan pertemuan.

Mereka terkejut dan sangat marah karena Presiden Soekarno melanggar aturan konstitusional. Disepakati untuk membiarkan masalahnya mengendap dahulu beberapa jam atau satu hari. Tetapi semua yang hadir di pertemuan itu mengatakan harus segera menemui Presiden. 

Hij poep op mij” 
Simatupang menilpon istana dan meminta agar Presiden dapat segera menerima Menteri Pertahanan, KSAP dan KSAD. Permintaan itu dipenuhi dan mereka segera berangkat ke Istana. Menteri Pertahanan memulai pembicaraan, “kami datang untuk bertanya, apakah sebetulnya yang dikehendaki oleh Panglima Tertinggi”. Percakapan berlangsung lugas dan semuanya dalam bahasa Belanda. Dalam bukunya, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Simatupang mengatakan ia meminta penjelasan kepada Presiden mengenai persoalan Bambang Supeno.

Presiden menjawab: “Als het zo is, laat het kenbaar maken.” (Kalau begitu, umumkan saja). Simatupang bereaksi, “Apabila seorang Kepala Staf Angkatan Darat dapat begitu saja diganti dengan pengumpulan tanda tangan dari para panglima, maka hal yang sama dapat terjadi pada para panglima dengan pengumpulan tanda tangan oleh para komandan resimen dan seterusnya. Dengan demikian tidak akan dapat dibangun suatu tentara yang baik. Menurut keyakinan saya apabila kita tak segera melaksanakan profesionalismedan modernisasi TNI dengan tetap memelihara kesetiaan yang mutlak terhadap Pancasila dan tetap menjunjung tinggi jiwa dan semangat perjuangan, maka pada suatu ketika dapat timbul di Indonesia seperti di Amerika Latin, dan hal yang lebih parah lagi dapat terjadi bahwa partai komunis akan merebut kekuasaan dan Pancasila akan diganti dengan komunisme....”Pertemuan selama lebih dari satu jam itu berakhir dalam suasana tegang. Simatupang berdiri meninggalkan Presiden tanpa berjabat tangan, hanya memberi hormat militer. Presiden Soekarno gusar dan merasa terhina oleh sikap Simatupang. Kepada Abdul Karim Pringgodigdo, ia mengatakan: “Hij poep op mij.(dia memberaki saya).” 

Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah suatu gerakan spontan dalam bentuk demonstrasi yang dimotori sejumlah perwira AD. Demonstrasi diikuti ribuan massa sempat memasuki dan mengobrak-abrik ruang sidang Parlemen. Mereka lalu berkumpul di depan Istana Merdeka. Di sana sudah siap pasukan kavalri dan artileri Angkatan Darat lengkap dengan kendaraan lapis baja. Laras meriam dari pasukan artileri diarahkan ke Istana. 

Para demonstran mengajukan tuntutan agar Presiden membubarkan Parlemen, karena dinilai tidak membawakan aspirasi rakyat. Agar diadakan pemilihan umum untuk menentukan anggota Parlemen baru. Berbagai spanduk bertuliskan “Bubarkan Parlemen,” “Adakan Segera Pemilihan Umum,” “Pergunakan Pasal 84 Undang-undang Dasar Sementara,” dan sebagainya. Presiden Soekarno menyatakan tidak akan membubarkan Parlemen, karena tak mau menjadi diktator. Sebagai orator ulung, Soekarno berhasil membubarkan para demonstran. Kolonel Nasution diberhentikan. Posisi KSAP dihapuskan, untuk mendepak Simatupang. 

Penulis adalah mantan wartawan Sinar Harapan.
Foto: Peristiwa 17 Oktober 1952, tentara pasang meriam yang ditujukan kearah isatana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar