Sabtu, 17 Oktober 2015

Makam Astana GiriBangun




Kompleks Astana Giribangun yang megah dan luas berada di lereng barat Gunung Lawu. Tepatnya terletak di Desa Karang Bangun, Matesih, Karanganyar, sekitar 40 kilometer arah timur kota Solo. Makam itu dibangun di atas sebuah bukit, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Istana Mangkunegaran, salah satu pecahan dinasti Mataram. Jika Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, Giribangun pada 666 meter dpl.
Pemilihan posisi berada di bawah Mangadeg itu bukan tanpa alasan; untuk tetap menghormat para penguasa Mangkunegaran, mengingat Ibu Tien Soeharto mengaku keturunan Mangkunegoro III. Bahkan Giribangun disebut sebagai makam yang dikhususkan untuk keluarga Mangkunegaran yang keduabelas atau yang paling akhir. Kompleks makam ini mulai dibangun pada tahun 1974 dan diresmikan penggunaannya para tahun 1976. Peresmian itu ditandai dengan pemindahan abu jenazah Soemaharjomo (ayahanda Tien Soharto) dan Siti Hartini Oudang (kakak tertua Ibu Tien), yang keduanya sebelumnya dimakamkan di Makam Utoroloyo, salah satu makam keluarga besar keturunan Mangkunegaran yang berada di Kota Solo.
Astana Giribangun ialah salah satu objek wisata religi yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Obyek wisata ini merupakan kompleks makam keluarga mantan Presiden Soeharto. Sebelum Astana Giribangun dibangun, sudah ada kompleks pemakaman keluarga Putra Mangkunegaran, yaitu Astana Mangadeg. Salah satu yang dimakamkan di sini adalah Kanjeng Pangeran Adi Pati arya Sri Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo. Letak Astana Giribangun yang berada di bawah Astana Mangadeg menunjukkan arti bahwa masih terdapat garis keturunan antara Sri Hartinah (Bu Tien) dengan keluarga Mangkunegaran III. Astana Giribangun dibangun tahun 1974, dan diresmikan pada hari Jumat Wage, tanggal 23 Juli 1976.

Astana Giribangun berada di atas bukit yang memiliki pemandangan alam yang indah, taman-taman yang menghijau, dan suasana yang rindang. Dari komplek pemakaman ini, pengunjung juga dapat melihat hamparan sawah yang menghijau. Untuk menuju Astana Giribangun, pengunjung harus melewati jalan berundak-undak yang berkelok-kelok dan menanjak. Namun, jangan pernah berpikir untuk capek selama berjalan menyusuri tangga tersebut, karena rasa capek itu akan terobati saat melihat keindahan pemandangan alam bukit ngaglik dari arah tangga ini. Jika dilihat dari gaya arsitekturnya, Astana Giribangun dibangun dengan mengadopsi model bangunan rumah khas jawa, yaitu joglo.

Astana yang memiliki luas sekitar 200 m2 ini, terbagi ke dalam tiga cungkup yang masing-masing bernama Cungkup Argotuwuh, Cungkup Argokembang, dan Cungkup Argosari yang merupakan cungkup tertinggi. Empat tiang utama di dalam Cungkup Argosari ini terbuat dari beton yang dihiasi dengan lapisan kayu ukiran asal Jepara. Selain itu, pada dasar tiang tersebut juga dihiasi dengan cincin-cincin yang terbuat dari logam kuningan yang kilaunya mirip dengan emas. Sedangkan lantainya terbuat dari marmer buatan Tulungagung.

Makam yang luas itu terdiri dari beberapa bagian. Di antaranya adalah bagian utama yang disebut Cungkup Argosari yang berada di dalam ruangan tengah seluas 81 meter persegi dengan dilindungi cungkup berupa rumah bentuk joglo gaya Surakarta beratap sirap. Dinding rumah terbuat dari kayu berukir gaya Surakarta.

Dalam penggunaan bahasa Jawa ada hierarki dalam bahasa. Dari paling halus atau tinggi adalah bahasa Kedaton, Krama Inggil, Krama Madya, Krama Deso, Krama Gunung dan Ngoko (bahasa paling kasar). Tingkatan bahasa untuk kuburan adalah: Astana (bahasa kedaton untuk keluarga keraton), pasareyan (krama inggil untuk priyayi), makam an (krama Madya/bahasa halusnya rakyat kota), jaratan (Krama Deso), kramatan (Krama Gunung), kuburan (Ngoko/paling kasar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar