Selasa, 29 Maret 2016

Pengakuan Orang Belanda tentang Perang Aceh

NBCIndonesia.com - Tak sedikit dari kita yang terlalu salut dengan semangat perang pasukan Bushido Jepang, maupun pasukan berani mati dari negara lain. Kita sungguh telah melupakan sejarah, bahwa bangsa lain begitu mengagumi semangat kepahlawanan moyang kita. Aceh dikenal dengan gengsi, ego dan menjaga martabatnya. Pantang terhina. Kehormatan lebih berharga dari nyawa. Ini yang membuat Belanda pusing menghadapi bangsa Aceh selama ratusan tahun sekaligus menyesal telah memulai perang dengan bangsa Aceh. Apa mau dikata, walaupun Belanda menyesal berperang dengan Aceh, perang itu harus tetap diteruskan untuk menutupi rasa malu mereka sebagai sebuah bangsa yang dikenal kuat di Eropa. Perang yang dilancarkan Belanda di Aceh sejak dideklarasikan pada 26 Maret 1873, disebut-sebut sebagai perang terlama dan terbanyak menguras kantong Belanda untuk membiayai perang. Pernyataan itu disampaikan oleh sejumlah penulis Belanda sendiri. Dalam buku Perang Kolonial Belanda di Aceh yang diterbitkan tahun 1977, dimunculkan kutipan dari sejumlah peneliti Belanda. Beberapa diantaranya memuji kepahlawanan orang Aceh dalam menghadapi invasi Belanda. Berikut petikannya. Penulis Belanda H.C. Zentgraaff dalam bukunya yang masyur, Atjeh, menulis: “Yang sebenarnya ialah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka itu tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh perang terkenal kita”. Pada halaman lain buku yang sama, Zentgraff menambahkan; “Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.” Pada halaman 100 buku Atjeh, Zentgraff menulis; “Demikianlah berakhir kehidupan Teungku di Barat dan ulama-ulama termasyhur lainnya di daerah itu yang lebih menyukai “mati syahid”daripada “melaporkan diri” (menyerah-kalah kepada lawan)… dan adakah satu bangsa di permukaan bumi ini yang tidak akan menulis di dalam buku-buku sejarahnya mengenai gugurnya tokoh-tokoh heroik dengan penghargaan yang setinggi-tingginya?.” Penulis Belanda yang lain, A.Doup, dalam buku berjudul Gedenkboek van het Korps Marechaussee 1890—1940 (Mengenang Korps Marsose) yang terbit tahun 1942, pada halaman 248 menulis; “Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya, seperti yang diperagakannya selama perang Belanda di Aceh menimbulkan rasa hormat pada pihak marsose serta kekagumannya akan keberanian, kerelaan gugur di medan juang, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan dan melaksanakan siasat perang yang murni asli, sementara daya pengamatannya sangat tajam. Ia mengamat-amati dengan cermat setiap gerak-gerik pemimpin brigade, dan ia tahu benar pemimpin-pemimpin brigade mana yang melakukan patroli dengan ceroboh serta mana pula yang selalu siap siaga dan berbaris secara teratur).” Masih ada lagi komentar dari Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh-Oorlog (Perang Aceh) yang terbit tahun 1969. Buku ini adalah salah satu buku yang kerap menjadi rujukan ketika menulis Perang Belanda di Aceh. Pada halaman 293, Paul menulis; “Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang seutas benang merah ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah sampai ke atas tanah yang menyebar luas sedemikian rupa dari tahun-tahun 1925 sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga kemudian terjelmalah pemberontakan-pemberontakan setempat. Puluhan “pembunuhan Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini disadari bahwa benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya, harus dianggap sebagai sebuah perang Belanda yang besar di Aceh atau boleh juga disebut sebagai sebuah deret, terdiri dari empat atau lima buah peperangan Belanda di Aceh yang berbagai-bagai sifatnya.” Masih dalam buku yang sama, pada halaman 301, Paul menambahkan; “Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya bertempur di Aceh dan ini sudah lebih daripada cukup.” Sementara Pierre Heijboer, dalam buku Klamboes, Klewangs, Klapperbomen, yang terbit tahun 1977 pada halaman 137 menulis; “Orang-orang Aceh ternyata bukan saja pejuang-pejuang yang fanatik, akan tetapi mereka juga tergolong pembangun kubu-kubu pertahanan yang ulung sekali.” (pp) [NBCIndonesia.com]

Senin, 07 Maret 2016

Arie Frederick Lasut

Di pemakaman Sasonoloyo, Yogyakarta, tepatnya di timur Purawisata yang dulunya dikenal sebagai Kerkhof atau Pemakaman Belanda, terdapat sebuah makam seorang Pahlawan Nasional yang mungkin jarang didengar oleh masyarakat umum. Makam beliau memang berada di tengah pemakaman yang dulunya Pemakaman Belanda dimana masih ada beberapa makam belanda disana, tapi mengenai makam belanda akan kami bahas lain waktu. Makam tersebut milik seorang Pahlawan Nasional bernama Arie Frederick Lasut, beliau adalah Kepala Jawatan Pertambangan dan Geologi RI pertama.



Arie Frederick Lasut yang lahir di Kapataran, Lembean Timur, Minahasa, 6 Juli 1918 – meninggal di Pakem, Sleman, Yogyakarta, 7 Mei 1949 pada umur 30 tahun, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dan ahli pertambangan dan geologis. Beliau terlibat dalam perang kemerdekaan Indonesia dan pengembangan sumber daya pertambangan dan geologis pada saat-saat permulaan negara Republik Indonesia. Setelah berpindah-pindah sekolah akibat masalah biaya, Arie Lasut akhirnya mendapat beasiswa dari Dienst van den Mijnbouw (Jawatan Pertambangan) untuk menjadi asisten geolog. Saat itu adalah saat bermulanya Perang Dunia 2 dan serangan pasukan Jepang yang akhirnya menuju ke Indonesia pada tahun 1942.

Semasa pendudukan Jepang di Indonesia, Beliau bekerja di Chorisitsu Chosayo (Jawatan Geologis) di Bandung. Beliau bersama dengan R. Sunu Sumosusastro termasuk beberapa orang Indonesia yang diberi posisi dalam jawatan tersebut oleh Jepang. Setelah Proklamasi kemerdekaan, pada bulan September 1945, Presiden Soekarno menginstruksikan untuk mengambil alih instansi-instansi pemerintahan dari Jepang. Beliau ikut serta dalam pengambilalihan jawatan geologis dari Jepang yang berhasil dilakukan secara damai. Jawatan itu kemudian dinamakan Jawatan Pertambangan dan Geologi. Kantor jawatan terpaksa harus dipindah beberapa kali untuk menghindari agresi Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Kantor jawatan sempat pindah ke Tasikmalaya, Magelang, dan Yogyakarta dari tempat semulanya di Bandung.  Sekolah pelatihan geologis juga dibuka selama kepemimpinan Beliau sebagai kepala jawatan saat itu.

Sebagai Kepala Jawatan Pertambangan, Beliau diincar oleh Belanda karena pengetahuannya tentang pertambangan dan geologi di Indonesia, tetapi ia tidak pernah mau bekerjasama dengan mereka. Pihak Belanda juga melakukan pendekatan lunak dengan menawari Beliau sejumlah uang yang sangat besar jumlahnya untuk ditukar dengan data-data potensi tambang yang ada di Indonesia, termasuk potensi tambang di Papua (itulah sebabnya, Belanda bersikeras tidak mau melepas Papua walaupun sudah mengakui kedaulatan RI, sehingga terjadilah Operasi Trikora untuk membebaskan Papua Barat), tetapi Beliau selalu menolak.



Tanggal 7 Mei 1949, pada masa Agresi Militer Belanda 2, Beliau diculik oleh pihak Belanda yang sudah habis kesabarannya, dari rumahnya dan dibawa ke Pakem, sekitar 17 kilometer di utara Yogyakarta. Di sana Beliau disiksa dan ditembak mati.  Beliau dimakamkan di samping istrinya yang telah lebih dulu meninggal pada bulan Desember 1947 di pemakaman Sasonoloyo, Jalan Ireda, timur Purawisata (lokasi sekarang). Beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah pada tahun 1966.

-AYP-